BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dinasti Abbasyiyah
adalah pelanjut kekuasaan dinasti Bani Umayyah, namun ada perbedaan orientasi
diantara kedua dinasti ini, dinasti Bani Umayyah lebih banyak menekankan
pada kekuatan militer (Yatim, 2010,
hal. 43) ,
sedangkan Dinasti Abbasyiyah lebih menekanakan pada pelayanan sosial, rumah
sakit, lembaga pendidikan, dokter, farmasi, pada masa ini sudah
terdapat 800 orang dokter, ilmu pengetahuan, kebudayaan serta kesusasteraan
berada pada zaman keemasannya. Tingkat kemakmuran yang paling tinggi terwujud
pada masa kekhalifahan Harun al-Rasyid (786-809 M) dan
puteranya al-Makmun (813-833 M) (Yatim, 2010, hal. 52-53) .
Al-Mamun pengganti Harun
al- Rasyid, di kenal sebagai seorang khalifah yang cinta ilmu. Pada masa
pemerintahannya, penerjemahan buku-buku asing di galakkan. Untuk menerjemah
buku-buku Yunani, Ia menggaji penerjemah-penerjemah golongan kristen dan
penganut agama lain yang ahli. Ia juga banyak mendirian sekolah. salah satu
karya besarnya adalah pembangunan Bait al-Hikmah yaitu
pusat penerjemahan yang berguna sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan
yang besar. Pada masa Ma’mun inilah Bagdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan
ilmu pengetahuan (Yatim, 2010, hal. 53) . Pada
masa ini lahirlah para ilmuan dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan,
diantara ilmu yang sampai puncak keemasannya adalah Fiqih. Apresiasi khalifah,
Kebebasan berfikir dan berpendapat, maraknya diskusi-diskusi dan debat ilmiyah
antara fuqahā’ telah mendorong lahirnya fuqahā’ mażhab
yang kompeten dalam bidangnya yang hasil karya mereka masih digunakan sampai
sekarang.
Namun sayang di akhir
abad keempat hijriyyah, kemajuan fiqih mengalami kemunduran, sejak itu tidak
lahir para mujtahid-mujtahid yang mempunyai kapasitas seperti pada periode
awal, kalaupun ada yang mampu, mereka tidak berminat lagi untuk berijtihad
membentuk mażhab baru, karena sudah merasa cukup dengan mażhab yang ada. Pada
masa ini para ulama telah dimanjakan oleh karya pendahulunya yang telah
membahas berbagai permasalahan hukum yang terjadi dalam masyarakat. Sehingga
setiap persoalan yang timbul para ulama ini tidak lagi mencari hukumnya dari
sumber asli yaitu al-Qurān dan dan hadist, tetapi mereka hanya mengembalikan
pada mażhab–mażhab yang telah disusun oleh pendahulunya. Sehingga terjadilah
kejumudan dan taqlīd besar-besaran yang menenggelamkan maraknya tradisi
ilmiyah.
B.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana
pengertian mażhab?
2.
Bagaimana
sejarah lahirnya mażhab fiqih?
3.
Bagaimana sebab terjadinya perbedaan pendapat
di antara mażhab fiqih?
C. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui:
1.
Pengertian mażhab.
2.
Sejarah lahirnya mażhab fiqih.
3.
Sebab terjadinya perbedaan pendapat di antara mażhab
fiqih.
BAB II
ANAISIS KRITIS ATAS TERBENTUKNYA MAŻHAB FIQIH DALAM ISLĀM
A. Pengertian Mażhab
Secara etimologi
kata mażhab (مذهب) berasal dari kata (ذهب) yang
berarti “pergi”, jadi mażhab adalah isim makan (kata yang menunjukkan
tempat), dapat juga berarti al-Ra’yu (الراءى) yang artinya “pendapat” di dalam ensilokpedi Islām
dikatakan, mażhab adalah pendapat kelompok atau aliran yang bermula dari
pemikiran atau ijtihad seorang imam dalam memahami sesuatu, baik filsafat,
hukum (fiqih), teologi maupun politik (Syarifuddin, 2009, hal. 442) . Kemudian pemikiran
ini di ikuti kelompok atau para pengikut dan di kembangkan menjadi suatu
aliran, sekte, atau ajaran. Pendapat ini masih bersifat umum,
didalamnya mencakup seluruh mażhab dari berbagai aliran. namun dalam makalah
ini pemakalah hanya memaparkan mażhab dalam perspektif fiqih.
Pengertian mażhab dalam
istilah fiqih atau ilmu fiqih setidaknya meliputi dua pengertian, yaitu :
1. Jalan pikiran atau metode (manhaj) yang di gunakan
seorag mujtahid dalam menetapkan hukum suatu kejadian
2. Pendapat atau fatwa seorang mujtahid atau mufti tentang
hukum suatu
Kejadian .
Jadi dapat dianalisa
bahwa mażhab adalah cara atau metode tertentu yang digunakan oleh mujtahid
dalam menetapkan suatu hukum yang terjadi dalam masyarakat.
B.
Sejarah
Lahirnya Mażhab Fiqih
Tampilnya Bani ‘Abbas ke
tampuk kekuasaan kekhalifahan, setelah menggulingkan Bani Umayyah berpengaruh
pada perkembangan ilmu pengetahuan agama, ilmu agama mengalami puncak
kejayaannya, berbeda dengan kekhalifahan bani Umayyah para penguasa tidak mau
terlalu banyak ambil pusing dan terlibat dalam urusan keagamaan (Djamil, 2007, hal. 105) .
Dinasti ‘Abbasiyah
terangkat ke atas tahta khalifah bukan semata-mata revolusi politik,
perpindahan dinasti tersebut mengandung arti trasnforrmasi yang mendalam dalam
masalah agama dan perubahan teokrasi . para ulama merasa
terobati rasa jenuhnya terhadap tingkahlaku para khalifah dinasti Umayah.
Masa Daulah Abbasyiah,
agama bukan hanya sekedar penting bagi negara, tetapi justru merupakan urusan
pertama dan utama bagi negara. Dengan keadaan demikian, tidaklah mengherankan
jika para teolog dan ahli bidang keagamaan tampil di istana dan dalam
pemerintahan, karena hukum dan administrasi harus di susun dan dibangun sesuai
perintah agama dan orang-orang yang mempelajari dan memperaktekkan sunnah,
dengan dinasti baru ini tibalah saatnya perkembangan dan kesuburan
hukum Islām (Djamil, 2007, hal. 106-107) .
Pada masa ‘Abbasiyah
lembaga-lembaga kenegaraan, administrasi peradilan dengan segala macam
transaksi, sampai kepada tujuan hukum sipil yang paling sederhana, harus
memenuhi ketentuan-ketentuan hukum agama, abad ini merupakan abad fiqih, abad
ahli-ahli yurisprudensi dan abad fuqahā’. Dalam hal ini Qāḍi merupakan tokoh
terhormat dan penting. di bawah kekhalifahan yang teokratis itu, studi tentang
yurisprudensi berkembang secara intensif dari pusat kekuasaan sampai ke daerah
yang paling terpencil. Upaya dan usaha pengembangan ilmu pengetahuan hukum
tersebut di dukung moril dan materil, sehingga masyarakat maju dan
pesat (Djamil, 2007, hal. 107) .
Kebebasan
berfikir yang diberikan oleh penguasa memberikan ruang kepada para
imam mażhab mencurahkan kemampuannya berijtihad dengan sungguh-sungguh sehingga
tumbuh subur kajian- kajian ilmiah, kebebasan berpandapat, banyaknya fatwa dan
kodifikasi ilmu, dan masing-masing menawarkan metodologi tersendiri
dan kaedah-kaeadah ijtihad yang menjadikan pijakan dan landasan pegambilan
hukum.
Dari fragmentasi diatas
dapat dipahami munculnya mażhab-mażhab fiqih pada periode ini merupakan puncak
dari perjalanan kesejarahan fiqih. Satu hipotesa yang
menarik dicermati bahwa muncunya mażhab-mazhb fiqih itu lahir dari
sejarahnya sendiri (Sirry, 2005, hal. 76) .
Persoalannya, kenapa
tidak ada legtimasi mażhab pada zaman sahabat dan tābi’īn? Misalnya mażhab Umar
atau mażhab Ali? Untuk manjawabnya setidaknya ada dua alasan yang menyebabkan
tidak adanya mażhab pada zaman sahabat dan tābi’īn. Pertama,belum
adanya gerakan kodifikasi ilmu, atau lebih khusus lagi penulisan fiqih. Karena
tidak adanya kegiatan menulis ini pendapat-pendapat sahabat tidak dapat
dipelajari secara komprehensif, sehingga pewarisan pemikiran fiqih
hanya berupa periwayatan. Bahkan saat ini belum ada buku yang secara
komprehensif membahas pendapat-pendapat para sahabat terkemuka tadi, seperti
Umar dan ibnu Mas’ud. Kedua, tidak adanya pengikut yang secara
khusus menyebarkan pendapat-pendapat salah seorang sahabat atau tābi’īn.
Seperti kita ketahui bahwa periode sahabat dan tābi’īn adalah periode yang
paling dekat dengan ‘Asr al-Tasyrī’ (masa turunnya syari’at),
sehingga mereka mengosen-trasikan diri untuk menjawab berbagai
persoalan baru yang belum muncul selama ‘Asr al-Tasyrī’ itu.
Karena kalaupun ada, kecenderungan sama dengan ulama yang lahir sebelumnya,
itupun karena kesamaan metode atau juga mungkin karena sikap apresiasi dan
simpati terhadap metode yang dipergunakan oleh ulama sebelumnya, seperti yang
diperlihatkan oleh al-Qamah bin Qais dan Ibrahim al-Nakh’ie yang tertarik pada
metode ibn Mas’ud dan Umar ibn Khaṭṭab,
dan Sa’id bin Musayyab yang terpengaruh dengan metode Abdullah bin Umar dan
Abdullah bin Abbas (Sirry, 2005, hal. 77-78) .
Dari mata rantai sejarah
ini jelas terlihat korelasi pemikiran fiqih dari zaman sahabat, tābi’īn hingga
munculnya mażhab-mażhab pada periode ini. Sehingga mażhab-mażhab yang lahir
pada masa ini tidak terbatas pada empat mażhab, yaitu mażhab Hanafi, Māliki, Syāfi’i
dan Hambali (Sirry, 2005, hal. 79) .
Menurut Muhammad Ali (Ali, 2006, hal. 124) , pada periode ini
melahirkan tiga belas orang mujtahid yang mażhabnya dibukukan dan pendapatnya
diikuti serta jumhur ulama mengakui mereka sebagai tokoh fiqih dan sebagai
panutan. Mereka itu adalah sufyan bin Uyainah di Mekah, Mālik bin Anas di
Madinah, Hasan al- Basyri di Basrah, Abu Hanifah dan Sufyan al-Tsauri di Kufah,
al-Auza’i di Syiria, Syāfi’i dan Laits bin Sa’ad di Mesir, Ishak bin Rahaweh di
Naisabur, serta Abu Tsaur, ahmad bin Hanbal, Daud al- Zahiri, ibnu Jarir di
Baghdad. mażhab-mażhab mereka ini ada yang masih hidup subur sampai sekarang
dan ada pula yang telah punah.
Mengapa beberapa
diantara mażhab-mażhab tersebut lenyap dan tidak berpengaruh lagi? Menurut Imam
Qāḍi’iyyadh dalam kitabnya al-
Madarik, yang kemudian dikutip Mun’im A. Sirry, ada proses seleksi sejarah
terhadap seluruh kitab fiqih sehingga mażhab yang terdiri dari terdiri tiga
belas hingga yang bertahan menjadi empat mażhab.
Meskipun tidak ada data
yang akurat dan pasti sampai kapan proses seleksi itu
berlangsung, tetapi yang pasti bahwa mażhab-mażhab itu bergumul secara amat
ketat dalam satu generasi dimana fiqih mengalami kejumudan dan kemacetan. Dalam
situasi jumud dan stagnasi itu terjadi pewarisan pemikiran yang sangat kaku
dari guru ke murid, taqlīd dan membentuk pengikut-pengikut secara
khusus yang menguat dari generasi ke generasi berikutnya. Ditambah lagi adanya
beberapa negara yang mengklaim mazab tertentu sebagai mażhab resmi sehingga
lengkaplah fanatisme mażhab di kalangan ummat Islām (Sirry, 2005, hal. 80) .
Pada masa-masa awal
seleksi itu (sekitar akhir abad ke-4 H), mażhab-mażhab fiqih telah menjadi
rujukan masyarakat tertentu yang mengakibatkan masyarakat tersebut hanya
mengenal satu mażhab dan mengesampingkan mażhab yang lain.
Mażhab Auza’i yang
semula berkembang pesat di Syam hanya bertahan selama dua ratus tahun, kemudian
melemah dan berpaling ke mażhab imam Mālik. Sedangkan mażhab Hasan
Bashri dan Tsauri tidak berumur panjang karena masyarakat syam dan
bagdad sebagian besar beralih ke mażhab Mālik dan Hanafi
Perkembangan yang cukup
melonjak adalah mażhab Syāfi’i. Semula hanya berkembang di Mesir tetapi
kemudian merambah ke baghdad, Iraq, dan masuk ke Khurasan, Syam, Yaman, hingga
sekarang. Setelah tiga ratus tahun dari perkembangannya, mażhab Syāfi’i juga
muncul di Afrika dan Andalusia. Mażhab Imam Ahmad bin Hambal yang berkembang di
Baghdad menyebar pula di Syam tetapi sekarang mulai
melemah
Mażhab ṭabari dan Abu Tsauri tidak bertahan
lama. Persaingan yang begitu ketat menjadikan mażhab ṭabari hanya bertahan selama empat ratus tahun dan Abu ṡur selama tiga ratus tahun. Para pengikut Daud al-
Zhahiri yang semula berkembang di Bagdad dan Persia dan sedikit di Afrika dan
Andalusia sekarang sangat lemah.
Demikian perkembangan
dan pergumulan mażhab-mażhab fiqih berlangsung dengan sangat intens dan
konstruktif. Mażhab-Mażhab itu memang tidak melemah atau menghilang dengan
sedirinya, tetapi melalui uji coba, verifikasi ilmiah dan operasional ruang dan
waktu yang panjang sekitar enam ratus tahun, dengan kata lain keempat Mażhab,
Hanafi, Māliki, Syāfi’i dan Hambali, telah melewati masa penggodokan yang
panjang dari generasi taqlīd dimana ulama generasi ini hanya memusatkan
kajian-kajiannya untuk pengembangan fiqih dan mencari relevansinya untuk
pengembangan lebih lanjut dalam bentuk metode mereka berijtihad (Sirry, 2005, hal. 81-82) .
C. Sebab Terjadinya Perbedaan Pendapat di antara Mażhab-Mażhab
Pada periode Rasullullah
saw tidak terjadi perbedaan pendapat dalam menetapkan hukum suatu masalah yang
terjadi, sebab standar dan rujukannya cuma satu. Berbeda ketika periode sahabat
sudah banyak mucul tokoh Tasyrī’ yang di antara mereka banyak terjadi perbedaan
pendapat dalam menetapkan suatu hukum yang terjadi, bahkan sikap dan fatwa
para sahabat bermacam-macam mengenai satu masalah saja. Perbedaan ini terjadi
di sebabkan ada perbedaan dalam memahami maksud ayat al-Qurān, juga berbeda
karena perbedaan tingkat dan kapasitas kecerdasan mereka dan perbedaan cara
analisis mereka. Demikian juga, pemahaman dan sikap mereka terhadap hadist Nabi
juga berbeda-beda. Terkadang diantara para sahabat itu ada yang berpegang
kepada hadis Nabi sedang yang lain tidak (Khalaf, 2002, hal. 91) .
Hal-hal diataslah yang
menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat dan fatwa-fatwa para sahabat,
walaupun mereka tetap sepakat mengenai sumber-sumber hukum dan tetap
memperhatikan prinsip-prinsip yang umum. Artinya mereka berbeda hanya dalam
persoalan furu’iyyah (cabang hukum saja) dan tidak sampai pada
persoalan ushul (pokok-pkok Tasyrī’). Namun pada sampai abad II H,
pemegang peran berijtihad beralih kepada para imam mujtahid. Pada masa ini
arena perbedaan semakin meluas sampai pada persoalan sebab-sebab yang berkaitan
dengan sumber-sumber hukum dan prinsip-prinsip bahasa dalam memahami naṣ syari’at. Dengan demikian perbedaan mereka tidak lagi
terbatas pada furu’iyyah saja, akan tetapi meliputi dasar-dasar-dasar Tasyrī’.
Perbedaan pendapat
mengenai garis penetapan perundang-undangan di kalangan imam mujtahid itu
berpangkal pada perbedaan mereka dalam tiga persoalan :
1. Perbedaan mengenai
penetapan sebagai sumber-sumber hukum
2. Perbedaan mengenai
pertentangan penetapan hukum dari Tasyrī’
3. Perbedaan mengenai
prinsip-prinrsip bahasa yang sesuai dalam memahami naṣ-naṣ
syari’at
Perbedaan para mujtahid
dalam mengambil sumber hukum Islām berdasarkan latar belakang masing-masing mujtahid,
misal : imam Mālik dan rekan-rekannya hanya berpegang pada hadist-ḥadits yang di pandang kuat oleh fiqih Madinah. Mereka
menolak hadis-hadist ahad sebagai sumber hukum, sedangkan imam mujtahid lainnya
berhujjah dengan hadist yang di riwayatkan oleh periwayat yang Tsiqah (terpercaya)
tanpa melihat dari daerah mana mereka berasal.
Dalam hal qiyas dan
analogi. Sebagian imam mujtahid dari kalangan Syi’ah dan Zhahiriyah
menolak berhujjah menggunakan qiyas atau analogi, mereka menolak qiyas
dijadikan sebagai sumber hukum, sedangkan imam-imam mujtahid yang lainnya
menggunakan qiyas sebagai sumber hukum Islām setelah al-Qurān, hadist, ijma’ (Khalaf, 2002, hal. 94) .
Adapun perbedaan
pendapat mereka dalam hal pertentangan penetapan hukum dari perundang-undangan
nampak jelas dengan terbaginya mereka dalam kelompok ahli ra’yu (rasional) dan
ahli ḥadits. Ahli ra’yu dalam memahami
teks naṣ dengan pendekatan rasional, yaitu
berdasarkan tujuan naṣ
tersebut, sedangkan ahli hadist dalam memahami naṣ dengan menggunakan pendekatan tekstual tanpa
menganalisis i’llat-‘illat hukumnya. Misal
فرض رسول الله صلعم
زكاةالفطرصاعامن تمراوصاعامن شعير (رواه مسلم عن ابن عمر)
”Rasulullah telah mewajibkan
zakat fitrah berupa satu sha’kurma atau gandum (HR. Muslim dari ibn Umar)”
Dalam memahami hadist tersebut ahli hadist berpatokan
pada teks ḥadīts
artinya, jika berzakat harus di keluarkan kurma atau gandum satu sha’.
Sedangkan ahli ra’yu dari segi tujuan syari’at (maqasid
al-syari’ah) bahwa tujuan zakat adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup
orang-orang fakir-miskin, maka menurut ahli ra’yu berzakat boleh menggunakan
barang lain yang seharga dengan satu sha’ kurma atau gandum (Khalaf, 2002, hal. 96) .
Adapun perbedaan mereka
mengenai sebagian prinsip-prinsip pokok bahasa terjadi perbedaan analisis
mengenai uslub (gaya) bahasa Arab. Sebagian mereka ada yang menetapkan hukum
berdasarkan Mantuq (bunyi lafalnya), ada yang memahami
berdasarkan mafhum mukhalafahnya artinya kebalikan dari yang
disebutkan dalam naṣ.
Ulama lain berpendapat kata amr (perintah) menunjukkan
arti wajib tidak selainnya, sementara ulama lain berpen-dapat amr hanya
menunjukkan pada tuntutan untuk mengerjakan sesuatu. Indikasi atau alasan (qarinah) nya lah yang menentukan
kepada perintah wajib atau sunatnya (Khalaf, 2002, hal. 100) .
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari
pemaparan makalah di atas yang membahas mengenai analisis kritis terhadap
pembentukan mażhab fiqih dalam Islām, maka dapat penulis simpulkan:
1.
Lahirnya beberapa imam mażhab di sebabkan oleh perkembangan
ilmu fiqih, yang mendapat dorongan dari khalifah dalam
memberi kebebasan para fuqahā’’ untuk berijtihad dan terjadinya taqlīd
bagi ulama fiqih terhadap salah satu mażhab
2.
Terjadinya perbedaan dikalangan para ulama mażhab
disebabkan oleh perbedaan mengenai penetapan sebagai sumber-sumber hukum, Perbedaan
mengenai pertentangan penetapan hukum dari Tasyrī’ dan Perbedaan
mengenai prinsip-prinrsip bahasa yang sesuai dalam memahami naṣ-naṣ syari’at.
3.
Terjadinya perbedaan ulama dalam menggunakan
sumber-sumber hukum disebabkan oleh perbedaan para mujtahid dalam mengambil
sumber hukum Islām berdasarkan latar belakang masing-masing mujtahid dan dalam
hal qiyas dan analogi, sebagian ulama dalam menetapkan hukum menggunakan
qiyas, sedangkan ulama yang lainnya tidak.
B.
Saran
Perbedaan dalam fiqih bukan berarti membuat umat Islām saling bermusuhan
terhadap satu dan lainnya. Perbedaan itu menunjukkan suatu kekayaan pemahaman Islām
yang perlu dibina bukan untuk dipermasalahkan.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, M. (2006). Sejarah
Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islām. Jakarta: Akademika Presindo.
Djamil, F. (2007). Filsafat Hukum Islām.
Jakarta: Logos.
Khalaf, A. W. (2002). Sejarah Pembentukan dan
Perkembangan Hukum Islām. Jakarta: Rajawali Press.
Sirry, M. A. (2005). Sejarahh Fiqih Islām,
Sebuah Pengantar. Surabaya: Risalah Gusti.
Syarifuddin, A. (2009). Ushul Fiqih.
Jakarta: Wacana Ilmu.
Yatim, B. (2010). Sejarah Peradaban Islām
Dirasah Islāmiyah II. Jakarta: Rajawali Pers.
No comments:
Post a Comment