Monday 6 April 2015

ANAISIS KRITIS ATAS TERBENTUKNYA MAŻHAB FIQIH DALAM ISLĀM

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Dinasti Abbasyiyah adalah pelanjut kekuasaan dinasti Bani Umayyah, namun ada perbedaan orientasi diantara kedua dinasti ini, dinasti Bani Umayyah  lebih banyak menekankan pada kekuatan militer (Yatim, 2010, hal. 43), sedangkan Dinasti Abbasyiyah lebih menekanakan pada pelayanan sosial, rumah sakit,  lembaga pendidikan, dokter, farmasi, pada masa ini sudah terdapat 800 orang dokter, ilmu pengetahuan, kebudayaan serta kesusasteraan berada pada zaman keemasannya. Tingkat kemakmuran yang paling tinggi terwujud pada masa kekhalifahan   Harun al-Rasyid (786-809 M) dan puteranya al-Makmun (813-833 M) (Yatim, 2010, hal. 52-53).
Al-Mamun pengganti Harun al- Rasyid, di kenal sebagai seorang khalifah yang cinta ilmu. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan buku-buku asing di galakkan. Untuk menerjemah buku-buku Yunani, Ia menggaji penerjemah-penerjemah golongan kristen dan penganut agama lain yang ahli. Ia juga banyak mendirian sekolah. salah satu karya besarnya adalah pembangunan  Bait al-Hikmah yaitu pusat penerjemahan yang berguna sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar. Pada masa Ma’mun inilah Bagdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan (Yatim, 2010, hal. 53). Pada masa ini lahirlah para ilmuan dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan, diantara ilmu yang sampai puncak keemasannya adalah Fiqih. Apresiasi khalifah, Kebebasan berfikir dan berpendapat, maraknya diskusi-diskusi dan debat ilmiyah antara fuqahā’ telah mendorong lahirnya fuqahā’  mażhab yang kompeten dalam bidangnya yang hasil karya mereka masih digunakan sampai sekarang.
Namun sayang di akhir abad keempat hijriyyah, kemajuan fiqih mengalami kemunduran, sejak itu tidak lahir para mujtahid-mujtahid yang mempunyai kapasitas seperti pada periode awal, kalaupun ada yang mampu, mereka tidak berminat lagi untuk berijtihad membentuk mażhab baru, karena sudah merasa cukup dengan mażhab yang ada. Pada masa ini para ulama telah dimanjakan oleh karya pendahulunya yang telah membahas berbagai permasalahan hukum yang terjadi dalam masyarakat. Sehingga setiap persoalan yang timbul para ulama ini tidak lagi mencari hukumnya dari sumber asli yaitu al-Qurān dan dan hadist, tetapi mereka hanya mengembalikan pada mażhab–mażhab yang telah disusun oleh pendahulunya. Sehingga terjadilah kejumudan dan taqlīd besar-besaran yang menenggelamkan maraknya tradisi ilmiyah.

B.     Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana pengertian mażhab?
2.      Bagaimana sejarah lahirnya mażhab fiqih?
3.      Bagaimana sebab terjadinya perbedaan pendapat di antara mażhab fiqih?

C.    Tujuan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui:
1.      Pengertian mażhab.
2.      Sejarah lahirnya mażhab fiqih.
3.      Sebab terjadinya perbedaan pendapat di antara mażhab fiqih.






BAB II
ANAISIS KRITIS ATAS TERBENTUKNYA MAŻHAB FIQIH DALAM ISLĀM


A.     Pengertian Mażhab
Secara etimologi kata mażhab  (مذهب)   berasal dari kata  (ذهب) yang berarti “pergi”, jadi mażhab adalah isim makan (kata yang menunjukkan tempat), dapat juga berarti al-Ra’yu (الراءى) yang artinya “pendapat” di dalam ensilokpedi Islām dikatakan, mażhab adalah pendapat kelompok atau aliran yang bermula dari pemikiran atau ijtihad seorang imam dalam memahami sesuatu, baik filsafat, hukum (fiqih), teologi maupun politik (Syarifuddin, 2009, hal. 442). Kemudian pemikiran ini di ikuti kelompok atau para pengikut dan di kembangkan menjadi suatu aliran, sekte, atau ajaran.  Pendapat ini masih bersifat umum, didalamnya mencakup seluruh mażhab dari berbagai aliran. namun dalam makalah ini pemakalah hanya memaparkan mażhab dalam perspektif fiqih.
            Pengertian mażhab dalam istilah fiqih atau ilmu fiqih setidaknya meliputi dua pengertian, yaitu :
1.      Jalan pikiran atau metode (manhaj) yang di gunakan seorag mujtahid dalam menetapkan hukum suatu kejadian
2.      Pendapat atau fatwa seorang mujtahid atau mufti tentang hukum suatu
Kejadian .
Jadi dapat dianalisa bahwa mażhab adalah cara atau metode tertentu yang digunakan oleh mujtahid dalam menetapkan suatu hukum yang terjadi dalam masyarakat.

B.     Sejarah Lahirnya Mażhab Fiqih
Tampilnya Bani ‘Abbas ke tampuk kekuasaan kekhalifahan, setelah menggulingkan Bani Umayyah berpengaruh pada perkembangan ilmu pengetahuan agama, ilmu agama mengalami puncak kejayaannya, berbeda dengan kekhalifahan bani Umayyah para penguasa tidak mau terlalu banyak ambil pusing dan terlibat dalam urusan keagamaan (Djamil, 2007, hal. 105).  
Dinasti ‘Abbasiyah terangkat ke atas tahta khalifah bukan semata-mata revolusi politik, perpindahan dinasti tersebut mengandung arti trasnforrmasi yang mendalam dalam masalah agama dan perubahan teokrasi . para ulama merasa terobati rasa jenuhnya terhadap tingkahlaku para khalifah dinasti Umayah.
Masa Daulah Abbasyiah, agama bukan hanya sekedar penting bagi negara, tetapi justru merupakan urusan pertama dan utama bagi negara. Dengan keadaan demikian, tidaklah mengherankan jika para teolog dan ahli bidang keagamaan tampil di istana dan dalam pemerintahan, karena hukum dan administrasi harus di susun dan dibangun sesuai perintah agama dan orang-orang yang mempelajari dan memperaktekkan sunnah, dengan dinasti baru ini tibalah saatnya  perkembangan dan kesuburan hukum Islām (Djamil, 2007, hal. 106-107).
Pada masa ‘Abbasiyah lembaga-lembaga kenegaraan, administrasi peradilan dengan segala macam transaksi, sampai kepada tujuan hukum sipil yang paling sederhana, harus memenuhi ketentuan-ketentuan hukum agama, abad ini merupakan abad fiqih, abad ahli-ahli yurisprudensi dan abad fuqahā’. Dalam hal ini merupakan tokoh terhormat dan penting. di bawah kekhalifahan yang teokratis itu, studi tentang yurisprudensi berkembang secara intensif dari pusat kekuasaan sampai ke daerah yang paling terpencil. Upaya dan usaha pengembangan ilmu pengetahuan hukum tersebut di dukung  moril dan materil, sehingga masyarakat maju dan pesat (Djamil, 2007, hal. 107).
Kebebasan berfikir  yang diberikan oleh penguasa memberikan ruang kepada para imam mażhab mencurahkan kemampuannya berijtihad dengan sungguh-sungguh sehingga tumbuh subur kajian- kajian ilmiah, kebebasan berpandapat, banyaknya fatwa dan kodifikasi  ilmu, dan masing-masing menawarkan metodologi tersendiri dan kaedah-kaeadah ijtihad yang menjadikan pijakan dan landasan pegambilan hukum.
Dari fragmentasi diatas dapat dipahami munculnya mażhab-mażhab fiqih pada periode ini merupakan puncak dari perjalanan kesejarahan fiqih. Satu hipotesa yang menarik  dicermati bahwa muncunya mażhab-mazhb fiqih itu lahir dari sejarahnya sendiri (Sirry, 2005, hal. 76).
Persoalannya, kenapa tidak ada legtimasi mażhab pada zaman sahabat dan tābi’īn? Misalnya mażhab Umar atau mażhab Ali? Untuk manjawabnya setidaknya ada dua alasan yang menyebabkan tidak adanya mażhab pada zaman sahabat dan tābi’īn. Pertama,belum adanya gerakan kodifikasi ilmu, atau lebih khusus lagi penulisan fiqih. Karena tidak adanya kegiatan menulis ini pendapat-pendapat sahabat tidak dapat dipelajari secara komprehensif, sehingga pewarisan pemikiran  fiqih hanya berupa periwayatan. Bahkan saat ini belum ada buku yang secara komprehensif membahas pendapat-pendapat para sahabat terkemuka tadi, seperti Umar dan ibnu Mas’ud. Kedua, tidak adanya pengikut yang secara khusus menyebarkan pendapat-pendapat salah seorang sahabat atau tābi’īn. Seperti kita ketahui bahwa periode sahabat dan tābi’īn adalah periode yang paling dekat dengan ‘Asr al-Tasyrī’ (masa turunnya syari’at), sehingga mereka mengosen-trasikan  diri untuk menjawab berbagai persoalan baru yang belum muncul selama ‘Asr al-Tasyrī’ itu. Karena kalaupun ada, kecenderungan sama dengan ulama yang lahir sebelumnya, itupun karena kesamaan metode atau juga mungkin karena sikap apresiasi dan simpati terhadap metode yang dipergunakan oleh ulama sebelumnya, seperti yang diperlihatkan oleh al-Qamah bin Qais dan Ibrahim al-Nakh’ie yang tertarik pada metode ibn Mas’ud dan Umar ibn Khaṭṭab, dan Sa’id bin Musayyab yang terpengaruh dengan metode Abdullah bin Umar dan Abdullah bin Abbas (Sirry, 2005, hal. 77-78).
Dari mata rantai sejarah ini jelas terlihat korelasi pemikiran fiqih dari zaman sahabat, tābi’īn hingga munculnya mażhab-mażhab pada periode ini. Sehingga mażhab-mażhab yang lahir pada masa ini tidak terbatas pada empat mażhab, yaitu mażhab Hanafi, Māliki, Syāfi’i dan Hambali (Sirry, 2005, hal. 79)
Menurut Muhammad Ali (Ali, 2006, hal. 124), pada periode ini melahirkan tiga belas orang mujtahid yang mażhabnya dibukukan dan pendapatnya diikuti serta jumhur ulama mengakui mereka sebagai tokoh fiqih dan sebagai panutan. Mereka itu adalah sufyan bin Uyainah di Mekah, Mālik bin Anas di Madinah, Hasan al- Basyri di Basrah, Abu Hanifah dan Sufyan al-Tsauri di Kufah, al-Auza’i di Syiria, Syāfi’i dan Laits bin Sa’ad di Mesir, Ishak bin Rahaweh di Naisabur, serta Abu Tsaur, ahmad bin Hanbal, Daud al- Zahiri, ibnu Jarir di Baghdad. mażhab-mażhab mereka ini ada yang masih hidup subur sampai sekarang dan ada pula yang telah punah.
Mengapa beberapa diantara mażhab-mażhab tersebut lenyap dan tidak berpengaruh lagi? Menurut Imam Qāi’iyyadh dalam kitabnya al- Madarik, yang kemudian dikutip Mun’im A. Sirry, ada proses seleksi sejarah terhadap seluruh kitab fiqih sehingga mażhab yang terdiri dari terdiri tiga belas hingga yang bertahan menjadi empat mażhab.
Meskipun tidak ada data yang akurat dan pasti sampai kapan   proses seleksi itu berlangsung, tetapi yang pasti bahwa mażhab-mażhab itu bergumul secara amat ketat dalam satu generasi dimana fiqih mengalami kejumudan dan kemacetan. Dalam situasi jumud dan stagnasi itu terjadi pewarisan pemikiran yang sangat kaku dari guru ke murid, taqlīd dan membentuk pengikut-pengikut secara khusus yang menguat dari generasi ke generasi berikutnya. Ditambah lagi adanya beberapa negara yang mengklaim mazab tertentu sebagai mażhab resmi sehingga lengkaplah fanatisme mażhab di kalangan ummat Islām (Sirry, 2005, hal. 80).
Pada masa-masa awal seleksi itu (sekitar akhir abad ke-4 H), mażhab-mażhab fiqih telah menjadi rujukan masyarakat tertentu yang mengakibatkan masyarakat tersebut hanya mengenal satu mażhab dan mengesampingkan mażhab yang lain.
Mażhab Auza’i yang semula berkembang pesat di Syam hanya bertahan selama dua ratus tahun, kemudian melemah dan berpaling ke mażhab imam Mālik. Sedangkan mażhab Hasan Bashri  dan Tsauri tidak berumur panjang karena masyarakat syam dan bagdad sebagian besar beralih ke mażhab Mālik dan Hanafi
Perkembangan yang cukup melonjak adalah mażhab Syāfi’i. Semula hanya berkembang di Mesir tetapi kemudian merambah ke baghdad, Iraq, dan masuk ke Khurasan, Syam, Yaman, hingga sekarang. Setelah tiga ratus tahun dari perkembangannya, mażhab Syāfi’i juga muncul di Afrika dan Andalusia. Mażhab Imam Ahmad bin Hambal yang berkembang di Baghdad menyebar pula di Syam tetapi sekarang mulai melemah      
Mażhab abari dan Abu Tsauri tidak bertahan lama. Persaingan yang begitu ketat menjadikan mażhab abari hanya bertahan selama empat ratus tahun dan Abu ur selama tiga ratus tahun. Para pengikut Daud al- Zhahiri yang semula berkembang di Bagdad dan Persia dan sedikit di Afrika dan Andalusia sekarang sangat lemah.
Demikian perkembangan dan pergumulan mażhab-mażhab fiqih berlangsung dengan sangat intens dan konstruktif. Mażhab-Mażhab itu memang tidak melemah atau menghilang dengan sedirinya, tetapi melalui uji coba, verifikasi ilmiah dan operasional ruang dan waktu yang panjang sekitar enam ratus tahun, dengan kata lain keempat Mażhab, Hanafi, Māliki, Syāfi’i dan Hambali, telah melewati masa penggodokan yang panjang dari generasi taqlīd dimana ulama generasi ini hanya memusatkan kajian-kajiannya untuk pengembangan fiqih dan mencari relevansinya untuk pengembangan lebih lanjut dalam bentuk metode mereka berijtihad (Sirry, 2005, hal. 81-82).

C.    Sebab Terjadinya Perbedaan Pendapat di antara Mażhab-Mażhab
Pada periode Rasullullah saw tidak terjadi perbedaan pendapat dalam menetapkan hukum suatu masalah yang terjadi, sebab standar dan rujukannya cuma satu. Berbeda ketika periode sahabat sudah banyak mucul tokoh Tasyrī’ yang di antara mereka banyak terjadi perbedaan pendapat dalam menetapkan suatu hukum yang terjadi, bahkan sikap dan fatwa para sahabat bermacam-macam mengenai satu masalah saja. Perbedaan ini terjadi di sebabkan ada perbedaan dalam memahami maksud ayat al-Qurān, juga berbeda karena perbedaan tingkat dan kapasitas kecerdasan mereka dan perbedaan cara analisis mereka. Demikian juga, pemahaman dan sikap mereka terhadap hadist Nabi juga berbeda-beda. Terkadang diantara para sahabat itu ada yang berpegang kepada hadis Nabi sedang yang lain tidak (Khalaf, 2002, hal. 91).
Hal-hal diataslah yang menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat dan fatwa-fatwa para sahabat, walaupun mereka tetap sepakat mengenai sumber-sumber hukum dan tetap memperhatikan prinsip-prinsip yang umum. Artinya mereka berbeda hanya dalam persoalan furu’iyyah (cabang hukum saja) dan tidak sampai pada persoalan ushul (pokok-pkok Tasyrī’). Namun pada sampai  abad II H, pemegang peran berijtihad beralih kepada para imam mujtahid. Pada masa ini arena perbedaan semakin meluas sampai pada persoalan sebab-sebab yang berkaitan dengan sumber-sumber hukum dan prinsip-prinsip bahasa dalam memahami na syari’at. Dengan demikian perbedaan mereka tidak lagi terbatas pada furu’iyyah saja, akan tetapi meliputi dasar-dasar-dasar Tasyrī’
Perbedaan pendapat mengenai garis penetapan perundang-undangan di kalangan imam mujtahid itu berpangkal pada perbedaan mereka dalam tiga persoalan :
1.      Perbedaan mengenai penetapan sebagai sumber-sumber hukum
2.      Perbedaan mengenai pertentangan penetapan hukum dari Tasyrī’
3.      Perbedaan mengenai prinsip-prinrsip bahasa yang sesuai dalam memahami na-na syari’at
Perbedaan para mujtahid dalam mengambil sumber hukum Islām berdasarkan latar belakang masing-masing mujtahid, misal : imam Mālik dan rekan-rekannya hanya berpegang pada hadist-adits yang di pandang kuat oleh fiqih Madinah. Mereka menolak hadis-hadist ahad sebagai sumber hukum, sedangkan imam mujtahid lainnya berhujjah dengan hadist yang di riwayatkan oleh periwayat yang Tsiqah (terpercaya) tanpa melihat dari daerah mana mereka berasal.
Dalam hal qiyas dan analogi. Sebagian imam mujtahid dari kalangan Syi’ah dan  Zhahiriyah menolak berhujjah menggunakan qiyas atau analogi, mereka menolak qiyas dijadikan sebagai sumber hukum, sedangkan imam-imam mujtahid yang lainnya menggunakan qiyas sebagai sumber hukum Islām setelah al-Qurān, hadist, ijma’ (Khalaf, 2002, hal. 94).
Adapun perbedaan pendapat mereka dalam hal pertentangan penetapan hukum dari perundang-undangan nampak jelas dengan terbaginya mereka dalam kelompok ahli ra’yu (rasional) dan ahli adits. Ahli ra’yu dalam memahami teks na dengan pendekatan rasional, yaitu berdasarkan tujuan na tersebut, sedangkan ahli hadist dalam memahami na dengan menggunakan pendekatan tekstual tanpa menganalisis i’llat-‘illat hukumnya. Misal
فرض رسول الله صلعم زكاةالفطرصاعامن تمراوصاعامن شعير (رواه مسلم عن ابن عمر)
Rasulullah telah mewajibkan zakat fitrah berupa satu sha’kurma atau gandum (HR. Muslim dari ibn Umar)”

            Dalam memahami hadist tersebut ahli hadist berpatokan pada teks adīts artinya, jika berzakat harus di keluarkan kurma atau gandum satu sha’. Sedangkan ahli ra’yu  dari segi tujuan syari’at (maqasid al-syari’ah) bahwa tujuan zakat adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup orang-orang fakir-miskin, maka menurut ahli ra’yu berzakat boleh menggunakan barang lain yang seharga dengan satu sha’ kurma atau gandum (Khalaf, 2002, hal. 96).
Adapun perbedaan mereka mengenai sebagian prinsip-prinsip pokok bahasa terjadi perbedaan analisis mengenai uslub (gaya) bahasa Arab. Sebagian mereka ada yang menetapkan hukum berdasarkan Mantuq (bunyi lafalnya), ada yang memahami berdasarkan mafhum mukhalafahnya artinya kebalikan dari yang disebutkan dalam na. Ulama lain berpendapat kata amr  (perintah) menunjukkan arti wajib tidak selainnya, sementara ulama lain berpen-dapat amr hanya menunjukkan pada tuntutan untuk mengerjakan sesuatu. Indikasi atau alasan (qarinah) nya lah yang menentukan kepada perintah wajib atau sunatnya (Khalaf, 2002, hal. 100).



BAB III
PENUTUP


A.    Kesimpulan
Dari pemaparan makalah di atas yang membahas mengenai analisis kritis terhadap pembentukan mażhab fiqih dalam Islām, maka dapat penulis simpulkan:
1.      Lahirnya beberapa imam mażhab di sebabkan oleh perkembangan ilmu fiqih, yang mendapat dorongan dari khalifah dalam memberi  kebebasan para fuqahā’’ untuk berijtihad dan terjadinya taqlīd bagi ulama fiqih terhadap  salah satu mażhab
2.      Terjadinya perbedaan dikalangan para ulama mażhab disebabkan oleh perbedaan mengenai penetapan sebagai sumber-sumber hukum,  Perbedaan mengenai pertentangan penetapan hukum dari Tasyrī’ dan   Perbedaan mengenai prinsip-prinrsip bahasa yang sesuai dalam memahami na-na syari’at.
3.      Terjadinya perbedaan ulama dalam menggunakan sumber-sumber hukum disebabkan oleh perbedaan para mujtahid dalam mengambil sumber hukum Islām berdasarkan latar belakang masing-masing mujtahid dan dalam hal qiyas dan analogi, sebagian ulama dalam menetapkan hukum menggunakan qiyas, sedangkan ulama yang lainnya tidak.
B.     Saran
Perbedaan dalam fiqih bukan berarti membuat umat Islām saling bermusuhan terhadap satu dan lainnya. Perbedaan itu menunjukkan suatu kekayaan pemahaman Islām yang perlu dibina bukan untuk dipermasalahkan.



DAFTAR PUSTAKA

 

Ali, M. (2006). Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islām. Jakarta: Akademika Presindo.
Djamil, F. (2007). Filsafat Hukum Islām. Jakarta: Logos.
Khalaf, A. W. (2002). Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islām. Jakarta: Rajawali Press.
Sirry, M. A. (2005). Sejarahh Fiqih Islām, Sebuah Pengantar. Surabaya: Risalah Gusti.
Syarifuddin, A. (2009). Ushul Fiqih. Jakarta: Wacana Ilmu.
Yatim, B. (2010). Sejarah Peradaban Islām Dirasah Islāmiyah II. Jakarta: Rajawali Pers.


No comments:

Post a Comment